Sunday, June 17, 2012

Mencari Takdir

saya menjadi teringat sedikit postingan saya mungkin tepat setahun yang lalu. tapi bukan di blog saya. ya, sedikit berbagi. semoga semua bisa memahami.


Tenang, sedikit panas dan pengap, bertabur debu sana-sini. Terlihat seseorang sedang galau mondar-mandir, mungkin begitu adanya. Tak tahu harus bagaimana. Tak mengerti apa yang akan diperbuatnya. Sedikit menunggu, berpikir sambil bertopang dagu. Mencoba menyendiri dan meramaikan diri.
Seorang tersebut merasa sangat bingung, merasa bingung dengan pilihan yang digariskan. Merasa bingung mana yang harus didauhulukan dan mana yang harus dipentingkan. Mana yang harus dipilih dan mana yang harus ditinggalkan. Tak mungkin kali ini dia mengambil keduanya. Memang sangat tidak mungkin. Sangat dan memang sangat tidak memungkinkan dengan kondisinya. Lalu ia mencoba mengambil alternatif. Seperti kata orang, gunakan fungsi lobbying . sedikit banyak ia mencoba berbicara dan me-lobby dan hasilnya nihil. Tak mungkin jika harus menjadi dua orang dalam satu waktu. Dan itulah yang menyiksanya. Ada sesuatu yang berat dan baginya, itu seperti keluarganya sendiri. Tak ingin ia meninggalkan, tak ingin ia melupakannya.
Bertentangan sekali dengan apa yang diinginkan keluarga aslinya. Ayah dan ibunya ingin yang terbaik untuk anaknya. Dan sebelumnya memang ada jalan yang baik untuknya.  Sayang sekali jikalau tidak dimanfaatkan. Lagipula hidup hanya sekali. Jika tidak dimanfaatkan dan memberikan kesuksesan, maka dipastikan ia akan menyesalinya dibelakang. Menyesal di kemudian hari.  Ya memang begitulah. Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Tak lebih dari itu. Inginkan kebahagiaan untuk anaknya. Tapi hanya dari sudut pandang orang tua tersebut. Bukankah kebahagiaan itu relatif bagi setiap orang.
Setiap malam dalam gundah gulana, pikiran yang tak menentu, kebingungan tingkat dewa dan tak tahu harus bagaimana, ia mencoba mencari apa yang disebut jawaban Tuhan. Sedikit demi sedikit ia bertanya pada Tuhan. Apakah memang itu yang terbaik. Apakah ini yang terbaik. Apakah selalu yang dipilihkan itu yang terbaik. Apakah tak ada kesempatan untuk memilih kebahagiaan masing-masing.
Dalam do’anya sebelum pulang, “Ya Allah, Maha Pemberi Jawaban. Bukan kah Engkau memberikan takdir agar dicari dan ditemukan sendiri. Dan jika Engkau ingin aku menjadi anak yang berbakti, maka ijinkanlah aku mencari kebahagiaan dan duniaku sendiri agar aku bisa membalas kebaikan orang tuaku. Bismillah semoga selamat.”
Dalam perjalanan yang bisa terbilang sore, dengan ribuan debu bertebaran. Burung-burung mengiringi sepanjang perjalanannya. Senja menjelang dan ia masih melihat awan kemerahan di ufuk barat. Dingin mulai merangkak naik. Sepi beranjak menemani dan hanya kabut putih menyelimutinya menapaki perjalanannya demi sebuah pilihan tentangnya.
Dan sampailah ia di rumahnya tercinta, setelah sebegitu lama tak memandang nya. Hampir tak ada perubahan. Hanya sedikit terlihat berbeda di ruang tamunya. Dan bagian rummah yang lain masih sama. Kecuali kamarnya yang kemudian berubah. Sedikit berubah tempat. Tapi tak masalah. Malah lebih bagus, begitu fikirnya. Dia cium tangan kedua orang tuanya dan senyum tersungging di bibir keduanya. Ia tak mau merusak senyumnya itu. Senyum yang selalu menemaninya semenjak ia masih kecil. Ia pun beristirahat sebentar. Melepas penat perjalanan. Dan memang bukan hanya penat dari perjalanannnya itu saja. Masih banyak yang perlu dipikirkan.
Sambil duduk dan melihat TV bersama ibu nya, kemudian sang ayah masuk ke kamar dan mengambiil beberapa bungkusan. “ini, 7.100.000 kan seperti yang tok bilang itu thow.” Kata bapak. “sana daftar ulang sebelum tutup.” Tambahnya lagi. Dengan sedikit menelan ludah dan bingung ia pun menanggapi “saya nggak mau pak, masih ada yang ngganjel”. “lhoh kamu kie piye, udah ketrima kok nggak diambil. Cepetan ntar tutup gag kebagian apa-apa kwe. Liaten kae, mas Agus yang jadi pengacara kae, ntar ikud pakpuh di sana. Gampang kerjane”. “pak, nuwun pangapunten nggih, bukan’e saya nggak nurut, tapi bapak pernah ngerti apa ingkang kula ingin’i mboten? Kulo pengin’e belajar pak tapi ingkang cocok kaliyan kulo pak”.”heh, kwe kwi, di weh’i pilihan apik, ben masa depan mu yo apik, ra bakal wong tuwo kie njerumuske nyang arah sing elek. Wong tuwo kie pengen anak’e iso luwih penak” dengan sedikit agak meninggi. “kulo mboten kok pengen mbantah utawa golek sing ra penak. Kulo ini hanya seperti anak keong yang dipilihkan rumah ingkang rumah’e kegedhen(kebesaran) pak. Mbok kulo milih rumah kulo kemawon, meski kecil, meski dilihat orang kecil dan menyesakkan dan tidak anak. Mungkin bagi bapak rumah keong yang besar itu baik dan gagah jika dilihat orang, tapi jika keong itu sendiri merasa tidak nyaman dan justru menjadi beban akankah itu bisa dibilang baik. Tapi kalo saya bisa senang dan bahagia dengan itu, dengan apa yang saya pilih, bukankah itu lebih baik pak. Dan bukankah orang tua selalu ingin melihat anaknya bahagia”. Si bapak pun hanya terdiam. Sedikit berkerut dahinya. Dan kemudian berbalik dan mengambil bungkusannya kembali ke dalam sambil mengambil beberapa gepitan uang.
“amargo(karena) kwe ngono, yo wes, 5 juta kono. Buat bayar SPP karo golek kontrakan. Cukup thow, wes, luwihane kanggo mbayar stuband mu kwi, katane stuband ke MalaNg tho. Itu wes sama sangune(uang saku) sekalian. Lain’e kanggo bapak ibu wae. Kanggo nyiapke adekmu, siapa ngerti gelem dadi pengacara. Menggantikan kwe, lah kwe ra gelem, ya wes, ndang turu kono. Sesok budhal maneh thow”
Sembari masuk, si bapak berkata demikian. seakan tak percaya, si anak tak terasa meluluhlah air matanya. “ alhamdulillah, ya Allah, Engkau memberi jawaban. Dan Engkau memberi jawaban terbaik”. Sayup-sayup suara iklan TV mengalun pelan. “hidup adalah perbuatan...”
Keesokan paginya. Deru motor terdengar mengalum stabil. Mentari masih belum nampak. Nampak barang-barang sudah tersiap rapi. Dan beberapa tambahan memenuhi tas si anak ini.
“Bapak, Ibuk, kulo budhal rumiyin nggih” pamitnya pada orang tuanya sambil mencium kedua tangan ibu dan bapaknya.
“iyo nak, sing ati-ati, jo lali sinaune, mangan’e ojo telat yo” pesan ibunya sebelum ia berangkat.
“nak, orang tua selalu ingin kebahagiaan untuk anaknya. Jalani kebahagiaanmu dengan bersungguh-sungguh. Wong tuwo cuman iso mbantu biaya thok. Liyane kwe dewe nak” imbuh bapaknya.
Dengan seuntai senyum dari orang tuanya ia berangkat dengan semangat baru dan senyum yang akan selalu ia jaga untuk kedua orang tuanya.


-Waa__
“happiness, destiny, and love are decided by Allah. But we just have to find it out”

No comments:

Post a Comment